Sabtu, 30 April 2011

Fenomena Gaib Kiai As’ad Syamsul Arifin

Situbondo, (1titik.com) – Kiai Haji As’ad Syamsul Arifin, dikisahkan pada suatu hari Kiai As’ad disuruh Kiai Wahab Hasbullah mengantarkan surat kepada Sunan Ampel. Dia tidak tahu isi surat itu, tapi dia tahu pasti kalau Sunan Ampel sudah almarhum puluhan, atau bahkan ratusan tahun silam. Namun, d...ia jelas tidak berani menolak perintah gurunya itu. Maka ke mana lagi dia berjalan kalau tidak ke makam sang sunan di Ampeldenta, Surabaya.
Tidak jelas bagaimana pengalaman spiritual yang diperoleh Kiai As’ad dalam mengemban tugas itu. Namun, yang pasti, reaksi Kiai Wahab, ketika dilapori bahwa suratnya sudah ditaruh persis di atas nisan sang sunan, beliau merasa bersyukur karena Sunan Ampel telah merestui pembentukan jam’iyah NU.
“NU adalah tarekat saya, sesuai dawuh (perintah) Sunan Ampel,” tutur Kiai Wahab.
Dikiisahkan pula, ketika Nahdhatul Ulama mengadakan hajatan di Sukorejo, yaitu Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU 1984, bantuan logistik mengalir, bahkan melimpah, dari masyarakat, khususnya warga NU. Tujuh hari sebelum acara, tercatat telah terkumpul 20 ekor sapi, 50 ekor kambing, 200 ekor ayam kampung, 15 ton beras, dan lima truk gula, telur, sayur, dan buah-buahan. Semuanya berdatangan di Sukorejo.
Acara yang melayani 1.500 orang itu, tiap hari rata-rata menghabiskan lima sampai enam kuintal beras, 130 sampai 300 ekor ayam, lima ekor kambing dan sapi, satu sampai tiga truk sayur mayur dan buah kelapa, dan tak terhitung kayu bakar, baik yang diantar dengan truk maupun di antar sendiri secara rombongan dengan sepeda ontel. Juru masaknya pun tak dibayar, mereka mengharapkan barakah dari para kiai.
Saking tingginya minat menyumbang dari warga, panitia sampai menolak ternak-ternak sapi dan kambing lantaran mereka tidak mempunyai tempat penampungan. Namun mereka tak habis pikir, binatang-binatang itu kemudian mereka antar lagi dalam bantuk daging.
Bantuan itu tidak hanya berasal dari warga yang kaya. Ada seseorang warga yang hanya memiliki dua ekor sapi yang satunya sedang hamil. Karena untuk acara keagamaan dia menyumbang salah satunya kepada Kiai As’ad.
Anehnya, beberapa hari kemudian seorang “tamu asing” mendatangi warga tersebut. Padahal saat mmberikan sapi itu, selain tulus ikhlas, warga tersebut juga tidak mencatatkan nama dirinya. Lalu, siapa yang memberitahukan tamu asing itu? Lucunya, tamu asing itu ngotot memberikan sejumlah uang beberapa kali lipat dari harga sapi. Karena ikhlas menyumbang untuk kiai, uang itu ditolak dengan tegas. Tapi, si tamu asing menegaskan tak mau meninggalkan rumah itu bila tetap ditolak. Akhirnya, dengan terpaksa uang itu diterimanya juga. Siapa orang asing itu? Manusia atau mahkluk alam lain? Wallahu a’lam.
Menundukkan Bandit
Pada masa itu, di daerah Besuki, jemaah salah Jumat sangat sedikit sekali bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Setelah diteliti oleh Kiai As’ad, ternyata di sana ada seorang tokoh yang amat disegani masyarakat, seorang bajingan. Tanpa ragu-ragu, kiai mendatangi rumah tokoh tersebut.
Mengetahui bahwa tamunya seorang kiai besar, tuan rumah jadi kikuk dan kelabakan. Mereka menjadi sangat terharu dan hormat, karena sang kiai tidak mempermasalahkan dan melecehkan “profesi”-nya. Hebatnya lagi, kiai yang alim dan memiliki banyak ilmu itu mengaku sanggup tinggal bersamanya di dunia dan akhirat. Kalau dia nyasar ke neraka, kiai akan berusaha menariknya ke surga. Syaratnya, dia harus mampu memenuhi masjid dengan warga sekitar dalam setiap salat Jumat.
Diplomasi Kiai As’ad membuahkan hasil. Selain akhirnya orang-orang berbondong-bondong memenuhi masjid, sang bajingan itu akhirnya insyaf dan rajin ke masjid. Misteri apa yang ada pada diri Kiai As’ad sehingga mampu menundukkan bajingan itu? Inilah kelebihan Allah yang diberikan padanya.
Gebrakan Kiai
Merasa dirinya berada di jalan yang benar, Kiai As’ad berani melakukan apa pun, termasuk melawan dan mengusir serdadu Jepang yang berada di depannya. Entah kekuatan gaib apa yang menyertai kiai asal Pamekasan, Madura, ini sampai meja yang berada di depannya hancur berantakan saat digebraknya dengan sangat keras.
“Negeri ini milik kami!” teriak Kiai As’ad sambil menggebrak meja dengan sangat keras. “Negeri ini bukan milik Jepang. Kalian harus meninggalkan negeri ini. Kalau tidak, saya dan rakyat akan menyerang kalian!”
Para hadirin tercengang. Meja yang kukuh itu retak dan kakinya menembus lantai! Pemimpin Jepang bercucuran keringat dingin. Ketakutan! Wajah kiai merah, tak ada yang berani menatap. Semua diam membisu!
“Kalian harus pulang sekarang juga!” kata Kiai As’ad.
Mau tak mau, pemimpin Jepang itu menyerah dan menandatangani persetujuan pemulangan tentara Jepang dari Desa Curah Damar Garahan, Jember, ke Surabaya, dengan catatan semua senjata harus ditinggalkan.
Itulah hasil perundingan tokoh-tokoh masyarakat Karesidenan Besuki dengan pemimpin Jepang sekitar September-Oktober 1945 yang bertempat di Pondok Pesantren Sukorejo. Tentara Jepang akhirnya diangkut dengan kereta api ke Surabaya dengan kawalan anggota Pelopor, tentara keamanan Rakyat, Hizibullah Sabilillah, dan rakyat pada umumnya.
Suwuk Kiai
Sebagai kiai dan ulama besar, Kiai As’ad tidak hanya menguasai banyak ilmu dari para guru dan kitab-kitab Hikmah, namun juga ilmu-ilmu yang bagi masyarakat masa kini sebagai ilmu-ilmu gaib. Maklum, murid-muridnya banyak dari kaum bromocorah, sehingga dia pun banyak mendalami ilmu kanuragan (kekebalan). Saat sesama mereka dibekali sebilah pedang serta celurit dan disuruh saling membacok. Tapi, tebasan pedang dan celurit itu tidak ada yang mencederai mereka.
Sebagian murid lain, ada yang diuji melompat dari pohon kelapa yang tinggi dan ternyata badannya tetap utuh serta segar bugar. Yang ajaib adalah saat di antara para murid itu mampu menjatuhkan puluhan buah kelapa hanya dengan sekali pandang.
Di balik semua aktivitas itu, kiai sepuh yang sederhana ini terus-menerus membaca amalan-amalan agar tidak terlihat musuh. “Asma ini penting untuk mencuri senjata dan menyerang musuh,” tuturnya.
Para santri yang dulunya bromocorah, dua di antaranya bernama Mabruk dan Abdus Shomad, kemudian tergabung dalam Pasukan Pelopor itu, dan memang telah beberapa hari mendalami ilmu kanuragan serta silat. Mereka juga sudah di-jaza’ atau di-suwuk (ditiup dengan doa, atau disemprot dengan air yang sudah didoakan) oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin. Keampuhan mereka itu dibuktikan dalam perjalanan di daerah Dabasah, dekat Bondowoso. Kebetulan di daerah tersebut terdapat sebuah gudang senjata Belanda. Pasukan Pelopor ini, dengan izin Allah SWT, berhasil mencuri 24 pucuk senjata dan sejumlah amunisi tanpa mendapat perlawanan. Dengan ilmu gaib khusus, anak buah Kiai As’ad itu berhasil masuk gudang tanpa terlihat oleh pasukan Belanda.
Pasir Jadi Dentuman Senjata
Ketika mengadakan gerilya, beberapa pejuang tampak membawa pasir. Konon, pasir itu adalah pemberian dari Kiai As’ad kepada para pejuang itu. Pasir tersebut kemudian ditaburkan ke kacang hijau di dekat markas tentara Belanda atau di jalan yang akan banyak dilewati tentara Belanda.
Aneh, suatu keajaiban terjadi. Puluhan tentara Belanda yang bersenjata lengkap itu tiba-tiba lari terbirit-birit ketakutan sambil meninggalkan senjatanya. Mungkin mereka mengira suara pasir itu adalah suara dentuman senjata api. Padahal, saat itu para pejuang tidak membawa senjata api. Bagaikan mendapatkan rejeki nomplok, para pejuang itu seakan berpesta pora dan memunguti satu per satu senjata-senjata yang ditinggal Belanda itu.
Dalam kesempatan lain, sebanyak 50 anggota Laskar Sabilillah mohon jaza’ kepada Kiai As’ad ke Sukorejo sebagai bekal untuk berjuang melawan Belanda. Pertama-tama yang ditanyakan oleh Kiai As’ad adalah keteguhan mereka untuk berjuang. “Apakah kalian betul-betul ingin berjuang?” tanya Kiai As’ad.
“Kami memang ingin berjuang, Kiai, asalkan kami diberi azimat,” jawab pemimpin rombongan.
“Oh, itu gampang,” jawab Kiai As’ad. “Be en entar bungkol, moleh bungkol (kamu berangkat perang utuh, pulang pun utuh).”
Lalu Kiai As’ad mengambil air putih dan menyuruh mereka meminumnya sambil membaca sholawat. Setelah itu Kiai As’ad berpesan, “Kalian tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan. Terus maju, jangan mundur. Kalau maju terus dan tertembak mati, kalian akan mati syahid dan masuk surga. Tapi, bila kalian mundur dan tertembak, kalian akan mati dalam keadaan kafir!”
Mecah Diri
Pada suatu hari, Kiai Mujib diajak Kiai As’ad menghadiri delapan acara walimah haji di luar kota. Kiai Mujib baru merasakan keajaiban yang dialaminya setelah kembali ke Sukorejo. Mereka berangkat pukul 20.30, dan pukul 22.30 telah berada lagi di Sukorejo. Padahal perjalanan pulang pergi saja memerlukan waktu dua jam, sementara mereka harus mengunjungi delapan kali acara yang tepatnya masing-masing sangat berjauhan. Ini belum lagi dihitung waktu Kiai As’ad memberi ceramah dan jamuan makan, yang tentu saja memakan waktu tidak sebentar.
Ini ajaib. Mana mungkin perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua jam plus semua acara yang tempatnya saling berjauhan dan memakan waktu berjam-jam itu bisa dilakukan hanya dengan dua jam? Kiai Mujib mengemukakan kebingungannya itu kepada sopir kiai, H. Abdul Aziz.
“Iya…iya, kenapa bisa begitu?” katanya sambil berulang kali melihat jam tangannya untuk menyakinkan diri bahwa saat itu memang baru pukul 22.30.
Seminggu kemudian, di Sukorejo, Haji Aziz memperoleh info mengenai keributan yang hampir saja terjadi di antara pemilik delapan acara walimah tersebut karena masing-masing ngotot didatangi kiai pada saat yang bersamaan. Akhirnya mereka sama-sama heran, sebab masing-masing mempunyai bukti berupa foto ketika kiai berada di rumah-rumah mereka.
Peristiwa seperti itu pernah dialami sendiri oleh Kiai As’ad ketika muda. Dia heran, ada kiai yang menjadi imam salat Jumat di tiga masjid dalam waktu yang bersamaan. Menurut kisah, Kiai As’ad bermakmun saat salat Jumat dengan imam Kiai Asadullah di Masjid Besuki. Bupati Situbondo, yang mendengar hal itu, membantah, dan sambil ngotot mengatakan bahwa Kiai Asadullah hari itu mengimammi salat Jumat di Situbondo, bahkan sang Bupati mengaku berdiri tepat di belakangnya. Penghulu Asembagus, yang kebetulan mendengar pertikaian itu, malah menimpali bahwa Asadullah menjadi imam salat di daerahnya.
Hal itu mengingatkan Kiai As’ad pada dawuh (perintah) Habib Hasan Musawa bahwa Kiai Asadullah telah mencapai maqam fana fi adz dzat, bisa menjadi tiga bhkan sepuluh dalam waktu bersamaan. Ilmu yang sama kelak kemudian hari juga dimiliki oleh Kiai As’ad
Maqam Fana
Mengetahui bahwa Kiai As’ad telah tertidur pulas, Kiai Mujib, yang memijit beliau, kemudian mencium badan sang kiai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Namun, dia tidak mencium bau apa-apa. “Beliau ini sebenarnya ada apa-apanya tidak sih?” pikir putra Kiai Ridwan, pencipta lambang NU itu. “Apakah ini orang yang dikatakan sudah berada di maqam fana?”
Tapi ternyata Kiai Mujib terkaget-laget. Tiba-tiba terdengar suara, “Pak Mujib, apa yang sampean cari. Apakah sampean mengira di dalam tubuh saya ini ada apa-apanya?”
Dari pengalaman itu Kiai Mujib tersadar, lebih baik melihat beliau dari jauh. Ajaib! Kalau dilihat dari jauh terlihat agak samar tapi tampak, tapi kalau didekati tidak kelihatan. Sulit ditebak, seperti apa sebenarnya tingkatan maqom manusia yang bernama As’ad Syamsul Arifin itu. Sumber http://planet-evolution.blogspot.com/2010/05/fenomena-gaib-kiai-asad-syamsul-arifin.html.

Jumat, 08 April 2011

Pabrik Miras

Keberadaan pabrik Minuman Keras (Miras) di sekitar Jl. Telaga Biru, tepatnya di belakang Pabrik Crum Rubber di KM 14 Lengkuas, Bintan Timur, Bintan, Kepri, sudah lama dikeluhkan warga. Ini menyusul adanya kolam penampungan limbah yang tidak mampu lagi, akibatnya meluber dan mengalir ke parit.
Sementara parit itu sebagai melintasi rumah-rumah penduduk dan bahkan air parit yang airnya berasal dari sumber bukit itu, mengalir secara alami, bahkan di saat musim kemarau, air ini tetap mengalir dengan baik, walau arusnya tidak sederas musin hujan.
Akibat limbah terbawa arus parit ini, karuan saja menimbulkan bau yang tidak sedap, bahkan anak ikan-ikan yang berada di kolam tidak mampu hidup dan pada pingsan serta mati. Kebaradaan pabrik Miras milik Alim yang beralamat di Pelantar II Tanjungpinang ini, bahkan rencannya akan membangun lokasi untuk pengalengan sekaligus. Selama ini, di sini hanya sebagai produksi, sedangkan pengalengan dan pengemasan dilakukan di Tanjungpinang.
Miras ini berlabel Arak Putih, dan dijual di pasar bebas di Tanjungpinang, sejenis minuman keras yang bergambar Apek Botak. Minuman ini memang digandrungi anak-anak muda yang cekak kantongnya, karena harganya memang sangat murah ketimbang Miras bermerk lainnya.
Upaya warga yang protes kepada pemilik usaha Miras ini selalu mentok dan tidak mendapat respon, terutama dari Ketua RT, RW, dan bahkan dikatakan jika perusahaan ini sudah mendapat izin operasional dari Kantor Camat Bintan Timur.
Salah seorang warga di sekitar lokasi ini menuturkan, pihaknya tidak melarang keberadaan usaha ini, tetapi harus memperhatikan lingkungan. Mungkin dulu jarang rumah penduduk, kondisi sekarang sudah berbeda dan ini perlu mendapat perhatian khusus. Silahkan saja, tetapi kolam untuk menambung limbah sebelum dialirkan ke parit harus bagus. Sehingga limbah yang mengalir ke parit, sudah tidak beracun dan tidak pekat lagi.

Minggu, 03 April 2011

PSSI, Nurdin dan Andi Malarangeng

Kongres PSSI di Pekanbaru gagal sudah, dan Ketua PSSI Nurdin juga membatalkan, ia langsung kembali ke Jakarta. Akhirnya, Menegpora Andi Malarangeng membekukan PSSI dan pengurus PSSI harus segera keluar dari kantornya, karena lokasi itu milik pemerinta.
Muncul reaksi dari berbagai kalangan, menilai Nurdin tidak mampu melaksanakan Kongres PSSI, ada juga yang menilai kongres senngaja ada yang menunggangi dan berusaha digagalkan, kemudian tindakan Menegpora gegabah dalam membekukan PSII. Beginilah negeri ini, beraneka ragam budaya dan adat istiadat, beraneka ragam pula pola pikir dan kepentingannya.
Nurdin ada yang mengatakan memang sudah tidak patut lagi menjadi Ketua PSSI, namun Nurdin seakan disuruh ngotot harus bisa menduduki jabatan itu, tentu ada tujuan lain untuk kepentingan lain pula. Gelagat ini sudah bisa dibaca oleh pihak lain, terlebih yang tidak suka dengan Nurdin. Dicarilah kesempatan "emas" untuk benar-benar mendepak Nurdin, berhasil. Pada 26 Maret adalah saat yang tepat sebagai alasan mendepak Nurdin beserta kroninya.
Sekarang muncul pemikiran lain, siapa yang membekukan PSSI dan mendepak Nurdin, tentu juga punya maksud dan tujuan lain. Ini tentu terkait dengan kepentingan Partainya di massa mendatang. Tetapi Nurdin yang dihubungkan dengan kepentingan partai juga, ada yang menyangkalnya, oooalaaaaaaah.
Memang, ketika PSSI melawan Malaysia di Jakarta, penjualan tiket banyak yang menilai tidak profesional, PSSI dinilai tidak becus, tentu ini mengarah kepada ketuanya.
Terlepas dari itu semua, sebaiknya sekarang segera dibentuk kepengurusan yang baru saja, sehingga mereka yang bisa terus berlatih dan bermain bola dengan baik. Tentu diharapkan dengan managemen yang baru, dunia sepak bola di Indonesia akan berkembang lebih baik, tidak mengutamakan keponakan, anak teman, saudara dalam perekrutan pemain baru untuk di didik menjadi pemain yang handal dan berbakat.
Jika memang Kongres mendatang akan dilaksanakan di Surabaya, silahkan, tida ada masalah, yang terpenting laksanakan dengan baik dan aman. Jangan ribut lagi ya saudaraku.