Saya Jumat 11/03/11 mendapat telepon dari Jayapura, dari salah seorang keluarga dan melaporkan jika dirinya sedang berkumpul bersama warga disana di sebuah perbukitan, ini atas arahan pemerintah setempat menyusul terjadinya tsunami dan gempa di Jepang.
Menurutnya, imbas tsunami bisa sampai di Indonesia bagian timur, sampai pagi ini, keluarga saya masih berada di perbukitan, karena masih ada intruksi tidak boleh turun, dan diinformasikan gempa susulan bisa saja dan bahkan akan terjadi.
Siangnya kemarin, saya juga melihat kejadian ini di televisi dan saya tidak kaget, tetapi bisa berkata inilah kuasa Illah yang siapapun tidak akan bisa menolak. Kejadian ini juga mengingatkan saya tsunami di Aceh, Sumbar, muntahnya Merapi, di Indonesia.
Dengan kejadian ini saya teringat ketika saya naik kapal laut dan kapal nomad milik TNI AL dalam tugas kewartawanan tahun 1998, ketika berada di tengah laut, mata saya memandang jauh semampu mata saya menembus pantai. Namun tidak mampu, dan yang ada dalam pikiran saya adalah betapa kecilnya diri ini, naik kapal bersama ratusan orang, kapal ukuran besar, tetapi ketika berada di tengah laut, kapal yang besarpun tiada arti jika dibandingkan dengan luasnya lautan.
Ketika saya naik pesawar nomad melintas lautan, saya melihat kapal penupang berkapasitas 2000 orang, sangat terlihat kecil seperti kue lemper, seperti pisang goreng, apalagi kapal nelayan terlihat seperti lidi. Pertanyaannya, kepada siapakah kita akan meminta tolong jika sesuatu musibah yang tidak kita inginkan ternyata terjadi menimpa kapal itu? Allahu Akbar.
Ya catatan gus Hafidh yang sangat singkat, DIRI KITA, PIDIE KITA, INDONESIA KITA, JEPANG KITA, saya tambahka MERAPI KITA, tapi sangat berakna. Seolah mengajak kita untuk melihat bencana di beberapa daerah ini juga menjadi masalah kita semua.
Saya mencoba menghubung-hubungkan walau mungkin tidak ada hubungannya, atas Kekuasaan-NYA dengan segala persoalan yang terjadi di alam ini. Tidakkah rentetan bencana alam ini bisa menjadi pelajaran, menjadi guru bagi kita semua.
Kalau jawabannya bisa, kenapa kita saling mencurigai, saling menjatuhkan, saling membuka aib, saling hantam, yang endingnya hanya sebuah kekuasaan, hanya jabatan, dan hanya uang, sementara masyarakat kita terabaikan dan diajak mendengarkan kalimat-kalimat yang tidak layak untuk didengarkan.
Adalagi hanya masalah perbedaan pendapat soal kehidupan ini, sampai bertiindak anarkis, bahkan saling bunuh? Padahal kita di alam ini harus hidup saling bergandengan, saling menyayangi dengan siapapun, tidak membedakan agama, suku, ras dan budaya. Kita yang diberi akal sehat, menangkap kalimat bahwa mereka yang membunuh merasa paling benar dan mereka yang dibunuh memang harus dibunuh, bagi saya mereka yang merasa paling benar kemudian berani membunuh adalah BENAR DI JALAN YANG SESAT.
Harapan saya, kita, mereka pasti:
1. Hidup rukun dan damai
2. Saling menyayangi
3. Hindari perbantah-bantahan yang justru merugikan
4. Hindari rasa curiga dan mencurigai
5. Bersama membangun negeri
6. Membangun lapangan kerja sebanyak mungkin
7. Mengelola alam sebaik dan sebenar mungkin
8. Hindari kepentingan pribadi dari segala persoalan
9. Utamakan kepentingan orang banyak, niscaya diri kita akan diuntungkan
10. Manusia yang berguna adalah yang berguna bagi orang banyak
Dalam catatan ini, saya mohon maaf kepada siapapun, orang tua saya, guru saya, senior saya, keluarga, sahabat saya dan kepada komunitas ini. Tidak ada sedikitpun niatan untuk menggurui, tetapi saya yang sangat minim ilmu ini justru ingin belajar kepada siapapun, termasuk kepada alam yang tidak berbiacara tetapi hanya memberikan tanda-tanda zaman.
Bismillah
Menurutnya, imbas tsunami bisa sampai di Indonesia bagian timur, sampai pagi ini, keluarga saya masih berada di perbukitan, karena masih ada intruksi tidak boleh turun, dan diinformasikan gempa susulan bisa saja dan bahkan akan terjadi.
Siangnya kemarin, saya juga melihat kejadian ini di televisi dan saya tidak kaget, tetapi bisa berkata inilah kuasa Illah yang siapapun tidak akan bisa menolak. Kejadian ini juga mengingatkan saya tsunami di Aceh, Sumbar, muntahnya Merapi, di Indonesia.
Dengan kejadian ini saya teringat ketika saya naik kapal laut dan kapal nomad milik TNI AL dalam tugas kewartawanan tahun 1998, ketika berada di tengah laut, mata saya memandang jauh semampu mata saya menembus pantai. Namun tidak mampu, dan yang ada dalam pikiran saya adalah betapa kecilnya diri ini, naik kapal bersama ratusan orang, kapal ukuran besar, tetapi ketika berada di tengah laut, kapal yang besarpun tiada arti jika dibandingkan dengan luasnya lautan.
Ketika saya naik pesawar nomad melintas lautan, saya melihat kapal penupang berkapasitas 2000 orang, sangat terlihat kecil seperti kue lemper, seperti pisang goreng, apalagi kapal nelayan terlihat seperti lidi. Pertanyaannya, kepada siapakah kita akan meminta tolong jika sesuatu musibah yang tidak kita inginkan ternyata terjadi menimpa kapal itu? Allahu Akbar.
Ya catatan gus Hafidh yang sangat singkat, DIRI KITA, PIDIE KITA, INDONESIA KITA, JEPANG KITA, saya tambahka MERAPI KITA, tapi sangat berakna. Seolah mengajak kita untuk melihat bencana di beberapa daerah ini juga menjadi masalah kita semua.
Saya mencoba menghubung-hubungkan walau mungkin tidak ada hubungannya, atas Kekuasaan-NYA dengan segala persoalan yang terjadi di alam ini. Tidakkah rentetan bencana alam ini bisa menjadi pelajaran, menjadi guru bagi kita semua.
Kalau jawabannya bisa, kenapa kita saling mencurigai, saling menjatuhkan, saling membuka aib, saling hantam, yang endingnya hanya sebuah kekuasaan, hanya jabatan, dan hanya uang, sementara masyarakat kita terabaikan dan diajak mendengarkan kalimat-kalimat yang tidak layak untuk didengarkan.
Adalagi hanya masalah perbedaan pendapat soal kehidupan ini, sampai bertiindak anarkis, bahkan saling bunuh? Padahal kita di alam ini harus hidup saling bergandengan, saling menyayangi dengan siapapun, tidak membedakan agama, suku, ras dan budaya. Kita yang diberi akal sehat, menangkap kalimat bahwa mereka yang membunuh merasa paling benar dan mereka yang dibunuh memang harus dibunuh, bagi saya mereka yang merasa paling benar kemudian berani membunuh adalah BENAR DI JALAN YANG SESAT.
Harapan saya, kita, mereka pasti:
1. Hidup rukun dan damai
2. Saling menyayangi
3. Hindari perbantah-bantahan yang justru merugikan
4. Hindari rasa curiga dan mencurigai
5. Bersama membangun negeri
6. Membangun lapangan kerja sebanyak mungkin
7. Mengelola alam sebaik dan sebenar mungkin
8. Hindari kepentingan pribadi dari segala persoalan
9. Utamakan kepentingan orang banyak, niscaya diri kita akan diuntungkan
10. Manusia yang berguna adalah yang berguna bagi orang banyak
Dalam catatan ini, saya mohon maaf kepada siapapun, orang tua saya, guru saya, senior saya, keluarga, sahabat saya dan kepada komunitas ini. Tidak ada sedikitpun niatan untuk menggurui, tetapi saya yang sangat minim ilmu ini justru ingin belajar kepada siapapun, termasuk kepada alam yang tidak berbiacara tetapi hanya memberikan tanda-tanda zaman.
Bismillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar