Minggu, 05 Juni 2011

Mengenali Kesamaan, Memahami Perbedaan

Kamis, 05 Mei 2011 - 05:22 [Image]
Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
Seorang perupa Lampung tengah melukis perupa Jerman, Franziska Fennert dengan material ampas kopi. 
(foto: bambang suroboyo

KETIKA seni bicara seni tak hanya untuk seni. Seni bisa bicara bermatra makna. Seni yang universal bisa bicara apa saja termasuk persahabatan. Tersebab itulah (mungkin) terbit proyek seni lintas budaya Crossing Signs. Tujuh perupa Jerman dan tujuh perupa Indonesia (Yogyakarta) bergabung dalam proyek seni Crossing Signs.

Proyek lintas budaya ini selain menghelat pameran karya rupa di Taman Budaya Yogyakarta dan Galeri Nasional Indonesia, Jakarta juga melakukan road show serta artist(s) and curator talk di Sika Gallery (Bali), Galeri Soemardja ITB (Bandung) dan Taman Budaya Lampung  (Bandar Lampung). Kehadiran para peserta proyek seni Crossing Signs di Bandar Lampung setidaknya memberi nuansa baru dalam dunia seni rupa Lampung. Apalagi para perupa peserta Crossing Sign Project juga terlibat dan ikut merespon kegiatan camping art yang digelar Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung (DKL).

Pimpinan proyek (Indonesia) Lenny Ratnasari Weichert dalam sambutannya mengatakan, proyek seni Crossing Signs merupakan sebuah upaya bagaimana menjembatani budaya Jerman dan Indonesia agar dapat saling merespons dan para seniman sebagai pemilik budaya  berasal dapat menambah wawasan dan perspektif baru dalam olah kreatif menghasilkan karya rupa.

Proyek seni Crossing Signs yang dikuratori Noor Veiga dan Sujud Dartanto adalah satu dari banyak pameran ketika orang tidak lagi bicara tentang apakah yang dipamerkan itu seni atau bukan, tidak lagi mempersoalkan bagimana dan mengapa karya karya yang dipamerkan itu disebut seni atau bukan, atau tidak lagi bicara tentang kualitas seni yang dihadirkan.

Para perupa bisa menghadirkan  karya yang lebih memasuki ruang pemaknaan dan media yang bernuansa. Seperti yang dikatakan Direktur Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta Prof. Dr. M. Dwi Marianto, MFA, yang diutamakan adalah upaya menjembatani budaya-budaya dari mana mereka berasal, dalam hal ini budaya Jerman dan budaya Indonesia yang memang dalam banyak aspek yang berbeda. “Maka dasar kuratorialnya adalah tidak untuk mencari perbedaan, melainkan mengenali kesamaan dari kedua budaya berbeda itu, untuk dipetik hikmah dan manfaatnya,” demikian Dwi Marianto dalam pengantarnya.

Persoalan Indentitas
Setelah mendapat sambutan selamat datang dari DKL dan seniman Lampung dalam seremonial para peserta disuguhi pameran hasil karya para peserta Crossing Sign Project. Ruang pamer Taman Budaya Lampung, siang itu di-setting apa adanya. Sama sekali tak terkesan ada pameran besar dan formal.

Tak separuh ruang pameran terpakai, hanya di sudut bagian tengah yang di-setting  untuk menaja karya peserta sekaligus tempat artist talk. Noor Veiga (kurator) dan Franziska Fennert (pimpinan proyek (Jerman) sekaligus sebagai penerjemah) tampil mempresentasikan karya-karya peserta proyek seni yang dipajang. Sementara para tamu undangan menikmati dengan santai ada yang duduk lesehan di lantai dan berdiri sambil menikmati kudapan.

Karya-karya peserta program ini seperti; I Made Aswino Aji, Yasmin Alt, Sigit Bapak, Indra Dodi, Franziska Fennert Tilman Hornig, Paul Pretzer, Deni Rachman, Lenny Ratnasari Weichhert, Lashita Situmorang, Ulrike Stolte, Rifqi Sukma, Cosima Tribukeit dan Fee Vogler. Nampaknya secara garis besar mempunyai persamaan. Karya-karya mereka banyak mengusung persoalan-persolan sosial perkotaan, feminisme, indentitas dan keterasingan.

Antara lain simak saja, persoalan seksualitas dalam karya Fee Vogler juga diangkat Lashita Situmorang. Seksualitas yang ditawarkan dalam karya Vogler merupakan produk wacana. Yang harus dikejar terus jawabannya. Dan Vogler yakin adanya pemahaman lain atas pertanyaan tentang seksualitas. Sedangkan Deni Rahman, ingin mengalami “rasa” dari produk modernisme, sehingga dia sendiri rela untuk dijadikan objek. Deni ingin tak hanya ingin menelan wacana, tetapi ingin merasakan akibat dan konsekuensi modern. Lenny dengan karya patungnya coba mengangkat persoalan jender sekaligus minoritas.

Wanita berwajah Eropa dengan jilbab hitam sederhana. Lenny menyoal persoalan penggunaan jilbab sebagai pilihan. Dia menyindir fakta yang ada jilbab sudah hilang dari esensinya. Paling tidak awalnya jilbab dipakai untuk menutup aurat dan mengurangi perhatian kaum lelaki. Tetapi masihkah berarti, kalau jilbab digunakan dengan aksesoris yang mencolok dan menyita perhatian lelaki. Jilbab hanya sekadar jadi fashion?

Persoalan indentitas juga disoal Sigit Bapak dalam karyanya. Perupa asal Lampung ini juga merasa tak punya tanah (akar) budaya untuk berpijak. Dia merasa ditolak jadi orang Sumatera dan juga ditolak sebagi orang Jawa. Sigit menyebutnya indentitas basing.

Narasi Baru
Dalam pemahaman Hommi Bhabha semua bentuk kebudayaan berhubungan satu sama lainnya, karena kebudayaan merupakan pertanda aktifitas simbolik. Kebudayaan sebagai penanda atau sinyal bisa saja dilakukan pembacaan dan tafsir. Berbagai pendekatan bisa dilakukan antara lain, melalui proyek seni Crossing Signs. Dua  kelompok seniman (perupa) dari dua bangsa dengan banyak aspek yang berbeda dipertemukan. Dengan keberbedaan itulah mereka dituntut untuk merespons untuk mengenali kesamaan dan memahami perbedaan.

Seperti diungkapkan dalam gagasan-gagasan Hommi Bhabha, mereka diharapkan  bisa mengekspresikan potensi-potensi sebuah ruang ketiga yang dipahami sebagai sebuah ‘area antara’ atau sebuah ‘zona liminal’ yang produktif dan kreatif. Crossing Signs digagas dan diharap untuk menghadirkan ruang ketiga bagi kedua perupa yang berasal dari Jerman dan Indonesia. Proyek lintas budaya ini diharapkan bakal menciptakan sebuah sinergi, menambah wawasan dan perspektif baru bagi seniman untuk membangun narasi baru dan karya rupa kreatif.                

Merespon Lampung
Usai artist talk dan presentasi para peserta mendapat suguhan demo para perupa Lampung Santo, Yulius dan Ari Susiwa Manangisi melukis dengan ampas kopi. Material baru yang ditawarkan perupa Lampung ini mendapat respons positif. Tak hanya peserta program yang tertarik tetapi juga para apresian (audiens), karena pada lazimnya mereka mengenal media akrilik dan cat air.

Sembari melakukan demo melukis Franziska yang diminta jadi model dadakan, Ari juga memaparkan cara melukis dengan ampas kopi dan bahan pendukungnya. Lewat berbagai gelaran para perupa Lampung mencoba memasyarakatkan ampas kopi untuk material melukis. Setidaknya pameran bertajuk “me-Rupa-kan Ampas Kopi” yang pernah digelar beberapa waktu lalu meraup sukses baik dari segi pasar wacana (jadi perbincangan) maupun wacana pasar (transaksi lukisan).

Ari yang pernah berpameran di Beijing ini berharap pada suatu waktu Lampung akan memiliki sentra lukisan dengan medium ampas kopi. Jadi, Lampung tak hanya terkenal sebagai salah satu daerah penghasil dan eksportir kopi terbesar di Indonesia. “Saya berharap lukisan dengan medium ampas kopi ke depan akan jadi ikon Lampung,” ujar Ari berbinar.

Menurut Lenny Ratnasari Weichert, owner Kersan Art Studio, Yogyakarta, ampas kopi sebagai media melukis oleh para perupa merupakan inner city atau local genius. “Kearifan lokal ini dapat dijadikan kekuatan dan ciri khas atau ikon rupa Lampung. Ketika orang menggunakan media ini, pastinya akan ingat Lampung sebagai brand-nya,” ujar Lenny dalam kesempatan bincang-bincang selepas artist talk.

Usai artist talk dan demo para perupa peserta Crossing Signs berkesempatan untuk lebih intens mengenal alam dan budaya Lampung. Mereka ikut bergabung dalam gelar camping art yang ditaja DKL di Pantai Pegadung, Pekon Susuk, Kecamatan Kelumbayaan, Kabupaten Tanggamus. Setelah melakukan pameran di Yogya dan Jakarta serta melakukan road show di Bali dan Bandung giliran mereka diajak mengenal lebih dalam tentang Lampung.

Traveling dari Bandar Lampung-Kelumbayan mereka disuguhi alam Lampung yang indah potensial. Kekayaan pemandangan bentang alam, pantai, kampung-kampung tua dengan deretan rumah panggung, dan potensi ekonomi yang melimpah seperti; sawah yang menghijau, tambak udang  dan kebun kakao. Mereka juga merasakan kerusakan infrastruktur jalan dan miskinnya fasilitas kesejahteraan rakyat seperti; listrik dan mahalnya air bersih.

“Destinasi yang indah, sayang infrastrukturnya tidak mendukung. Ini benar-benar sebuah surga tersembunyi, Tetapi kami sudah kelelahan di perjalanan,” komentar Lenny begitu sampai di lokasi camping art. Memang kalau jalan mulus Bandar Lampung-Kelumbayaan yang berjarak sekitar 90 kilometer bisa ditempuh sekira 100 menit perjalanan. Pengalaman ini ditambah dengan tidur dan makan seadanya serta bergaul dengan warga kampung tentunya menjadi sebuah pengalaman bagi mereka.

Demikian juga dengan para perupa Lampung dapat merespon dan pergaulan dapat mendorong kreativitas berkarya dan membangun jejaring. Sedangkan dari hasil kegiatan melukis bersama di Pantai Pegadung ini digelar dalam pameran bersama bertajuk “Back to Nature and Friendship” (Kembali ke Alam dan Persahabatan) yang menaya 81 lukisan di Taman Budaya Lampung, Jalan Cut Nyak Din 24 Bandar Lampung dari 27 April-8 Mei 2011. ***Penghayat kesenian dan pengamat seni rupa tinggal di Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar