Kamis, 2 Juni 2011 16:38 WIB | 1027 Views
Surabaya (ANTARA News) - Ratusan peserta Kongres III Pancasila di Surabaya, Jawa Timur, dalam rumusan hasil kongres menyatakan, Indonesia sudah berada dalam kondisi "Gawat Pancasila", karena Pancasila sudah dibiarkan menjauh dari ranah ideologi, politik, pendidikan, ekonomi, sosial, dan kultural.
"Ada 11 butir rumusan hasil kongres yang ditambah dengan dua rekomendasi, dua agenda aksi, dan lima butir Deklarasi Surabaya," kata Sekretaris Panitia Kongres III Pancasila di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Listyono Santosa SS MHum, kepada ANTARA News di Surabaya, Kamis.
Hasil itu dirumuskan oleh Tim Perumus Kongres III Pancasila yang terdiri dari Prof Dr Sutaryo Sp.A(K) (UGM), Prof Dr Suhartono Taat Putra (Unair), Dr Bambang Kusbandrijo (Untag Surabaya), Sindung Tjahyadi M.Hum (UGM), Dr Soedarso (ITS), Dr Lukas Sugiarto (Unesa), Dr Agus Subiyanto (UHT Surabaya), dan Dr Bambang Supriyadi (UWK Surabaya).
Menurut peserta kongres, kegawatan tersebut dipicu oleh perubahan sistem norma setelah terjadi amandemen UUD 1945 yang di dalamnya tinggal 25 pasal yang asli dan 174 pasal yang baru, sehingga menimbulkan kekacauan sistem kelembagaan, tidak berfungsi secara optimal, malfungsi, disfungsi, dan akhirnya terjadi tumpah tindih tugas dan ada tugas yang telantar.
Oleh karena itu, peserta menilai diperlukan suatu lembaga yang bisa melakukan pembudayaan ideologi. Lembaga tersebut juga mempunyai fungsi pendidikan, pengkajian Pancasila, dan kontrol kebijakan atas peraturan hukum yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam situasi krisis sekarang ini, peserta berpendapat bahwa dasar hukum bagi pendirian lembaga tersebut tidak harus dengan UU baru, melainkan cukup dengan Inpres disertai petunjuk teknis pemasyarakatan dan pembudayaan Pancasila dan UUD 1945.
Peserta Kongres III Pancasila menegaskan bahwa Pancasila harus memimpin dan mengarahkan bangsa dalam situasi yang gawat sekalipun, artinya sebagai dasar statis dan bintang petunjuk arah negara dan bangsa.
Oleh karena itu, pembudayaan Pancasila harus bersifat wajib bagi penyelenggara negara, partai politik, masyarakat pers, dunia usaha, dan seluruh warga.
Dalam rekomendasinya, peserta kongres mendesak pembudayaan Pancasila melalui pendidikan, pendekatan budaya, keteladanan para penyelenggara negara, dan Presiden harus segera membentuk Dewan Nasional Pembudayaan Pancasila dan UUD 1945.
Untuk agenda aksi, peserta kongres berkomitmen untuk mengembangkan komunitas dalam jaringan pembudayaan Pancasila secara nasional yang sistematis, sinergis, dan berkelanjutan, sekaligus membangun jaringan komunikasi melalui pertemuan-pertemuan, mailinglist, website, facebook, twitter, dan jejaring sosial lainnya.
Selain rumusan hasil Kongres III Pancasila, peserta kongres mendeklarasikan pentingnya Nilai Pancasila sebagai pedoman kehidupan bangsa untuk dikembangkan secara substansi, metode, strategi dan model pembudayaan Pancasila.
Kepada para penyelenggara negara, peserta kongres di Surabaya mengharapkan mereka menjadi teladan dalam pengamalan dan pengamanan nilai Pancasila, lalu semua partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi dan organisasi kemasyarakatan juga wajib melaksanakan pembudayaan Pancasila bagi pengurus dan anggotanya.
Bagi masyarakat pers dan dunia usaha sebagai pilar penting dalam pembangunan kemandirian bangsa, juga wajib melaksanakan pembudayaan Pancasila bagi pengurus dan anggotanya.
Untuk seluruh warga negara juga harus melakukan metode edukasi dalam arti luas, kontekstual, inovatif, partisipasi aktif yang berakar pada kearifan lokal dan budaya nasional, sejak dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai perguruan tinggi, keluarga, dan masyarakat.
Kepala negara juga harus jelas dan tegas dalam menjalankan Politik Pendidikan Nasional berdasar Pancasila, karena itu mata pelajaran Pancasila secara mandiri harus dimasukkan dalam kurikulum di seluruh jenis, jenjang, dan jalur pendidikan, baik kurikuler, ko-kurikuler, maupun ekstra kurikuler.
Oleh karena itu, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 perlu segera dilakukan "judicial review" (uji materi) karena tidak mencantumkan subtansi Pendidikan Pancasila secara mandiri.
Selain itu, peserta kongres di Surabaya juga mendesak untuk segera dibentuk lembaga nasional yang diberi tanggung jawab khusus, yakni Komite Nasional Pembudayaan Pancasila dan UUD 1945 yang dibentuk dengan Instruksi Presiden, lalu ditingkatkan dalam bentuk Undang-Undang tentang Dewan Nasional Pembudayaan Pancasila dan UUD 1945.(T.E011/I007)Editor: Priyambodo RH
"Ada 11 butir rumusan hasil kongres yang ditambah dengan dua rekomendasi, dua agenda aksi, dan lima butir Deklarasi Surabaya," kata Sekretaris Panitia Kongres III Pancasila di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Listyono Santosa SS MHum, kepada ANTARA News di Surabaya, Kamis.
Hasil itu dirumuskan oleh Tim Perumus Kongres III Pancasila yang terdiri dari Prof Dr Sutaryo Sp.A(K) (UGM), Prof Dr Suhartono Taat Putra (Unair), Dr Bambang Kusbandrijo (Untag Surabaya), Sindung Tjahyadi M.Hum (UGM), Dr Soedarso (ITS), Dr Lukas Sugiarto (Unesa), Dr Agus Subiyanto (UHT Surabaya), dan Dr Bambang Supriyadi (UWK Surabaya).
Menurut peserta kongres, kegawatan tersebut dipicu oleh perubahan sistem norma setelah terjadi amandemen UUD 1945 yang di dalamnya tinggal 25 pasal yang asli dan 174 pasal yang baru, sehingga menimbulkan kekacauan sistem kelembagaan, tidak berfungsi secara optimal, malfungsi, disfungsi, dan akhirnya terjadi tumpah tindih tugas dan ada tugas yang telantar.
Oleh karena itu, peserta menilai diperlukan suatu lembaga yang bisa melakukan pembudayaan ideologi. Lembaga tersebut juga mempunyai fungsi pendidikan, pengkajian Pancasila, dan kontrol kebijakan atas peraturan hukum yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam situasi krisis sekarang ini, peserta berpendapat bahwa dasar hukum bagi pendirian lembaga tersebut tidak harus dengan UU baru, melainkan cukup dengan Inpres disertai petunjuk teknis pemasyarakatan dan pembudayaan Pancasila dan UUD 1945.
Peserta Kongres III Pancasila menegaskan bahwa Pancasila harus memimpin dan mengarahkan bangsa dalam situasi yang gawat sekalipun, artinya sebagai dasar statis dan bintang petunjuk arah negara dan bangsa.
Oleh karena itu, pembudayaan Pancasila harus bersifat wajib bagi penyelenggara negara, partai politik, masyarakat pers, dunia usaha, dan seluruh warga.
Dalam rekomendasinya, peserta kongres mendesak pembudayaan Pancasila melalui pendidikan, pendekatan budaya, keteladanan para penyelenggara negara, dan Presiden harus segera membentuk Dewan Nasional Pembudayaan Pancasila dan UUD 1945.
Untuk agenda aksi, peserta kongres berkomitmen untuk mengembangkan komunitas dalam jaringan pembudayaan Pancasila secara nasional yang sistematis, sinergis, dan berkelanjutan, sekaligus membangun jaringan komunikasi melalui pertemuan-pertemuan, mailinglist, website, facebook, twitter, dan jejaring sosial lainnya.
Selain rumusan hasil Kongres III Pancasila, peserta kongres mendeklarasikan pentingnya Nilai Pancasila sebagai pedoman kehidupan bangsa untuk dikembangkan secara substansi, metode, strategi dan model pembudayaan Pancasila.
Kepada para penyelenggara negara, peserta kongres di Surabaya mengharapkan mereka menjadi teladan dalam pengamalan dan pengamanan nilai Pancasila, lalu semua partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi dan organisasi kemasyarakatan juga wajib melaksanakan pembudayaan Pancasila bagi pengurus dan anggotanya.
Bagi masyarakat pers dan dunia usaha sebagai pilar penting dalam pembangunan kemandirian bangsa, juga wajib melaksanakan pembudayaan Pancasila bagi pengurus dan anggotanya.
Untuk seluruh warga negara juga harus melakukan metode edukasi dalam arti luas, kontekstual, inovatif, partisipasi aktif yang berakar pada kearifan lokal dan budaya nasional, sejak dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai perguruan tinggi, keluarga, dan masyarakat.
Kepala negara juga harus jelas dan tegas dalam menjalankan Politik Pendidikan Nasional berdasar Pancasila, karena itu mata pelajaran Pancasila secara mandiri harus dimasukkan dalam kurikulum di seluruh jenis, jenjang, dan jalur pendidikan, baik kurikuler, ko-kurikuler, maupun ekstra kurikuler.
Oleh karena itu, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 perlu segera dilakukan "judicial review" (uji materi) karena tidak mencantumkan subtansi Pendidikan Pancasila secara mandiri.
Selain itu, peserta kongres di Surabaya juga mendesak untuk segera dibentuk lembaga nasional yang diberi tanggung jawab khusus, yakni Komite Nasional Pembudayaan Pancasila dan UUD 1945 yang dibentuk dengan Instruksi Presiden, lalu ditingkatkan dalam bentuk Undang-Undang tentang Dewan Nasional Pembudayaan Pancasila dan UUD 1945.(T.E011/I007)Editor: Priyambodo RH
Ideologi Pancasila Melindungi Semua Agama, Suku, Budaya, Bahasa
Kamis, 2 Juni 2011 01:54 WIB | 1377 Views
Lebak (ANTARA News) - Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Lebak H Hasan Alaydrus mengungkapkan, ideologi Pancasila tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Pancasila sebagai pemersatu bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Karena itu, ideologi Pancasila tidak bisa ditawar-tawar lagi," katanya di Rangkasbitung, Rabu.
Ia mengatakan, Pancasila juga merupakan jatidiri bangsa dan dapat melahirkan bangsa yang besar, karena mengedepankan musyawarah untuk mencari mufakat demi kepentingan bersama.
Perjuangan bangsa Indonesia tempo dulu dengan melahirkan Pancasila untuk kesejahteraan dan keadilan, katanya.
Ia mengatakan, ideologi Pancasila sebagai benteng kekuatan untuk melindungi dari ancaman, gangguan, tantangan serta hambatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Musyawarah untuk mencapai mufakat adalah bentuk demokrasi Indonesia yang harus dipertahankan.
"Dengan Pancasila itu, kita membangun bangsa yang besar dengan keanekaragaman suku, budaya, agama dan bahasa," katanya.
Menurut dia, Pancasila juga menjamin setiap warga menjalankan kewajiban beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing, sebab bangsa Indonesia adalah bangsa yang agamais dan bukan negara sekuler.
"Semua pemeluk agama yang ada di masyarakat dilindungi oleh negara," ujarnya.
Dia menyebutkan, pihaknya merasa prihatin saat ini nilai-nilai Pancasila di masyarakat nyaris dilupakan dan diabaikan.
Oleh karena itu, kata dia, pelajaran Pancasila wajib diajarkan kembali di berbagai tingkat pendidikan mulai taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan atas.
Sebab setelah era reformasi pelajaran Pancasila sudah tidak diajarkan di sekolah-sekolah.
Pihaknya memberikan keputusan kepada Dinas Pendidikan setempat agar tahun pelajaran 2011/2012 sudah diajarkan Pancasila di sekolah.
"Kita jangan sampai melupakan Pancasila karena budaya bangsa sendiri sebagai pemersatu bangsa," katanya. (MSR/Z002/K004) Editor: B Kunto Wibisono
"Pancasila sebagai pemersatu bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Karena itu, ideologi Pancasila tidak bisa ditawar-tawar lagi," katanya di Rangkasbitung, Rabu.
Ia mengatakan, Pancasila juga merupakan jatidiri bangsa dan dapat melahirkan bangsa yang besar, karena mengedepankan musyawarah untuk mencari mufakat demi kepentingan bersama.
Perjuangan bangsa Indonesia tempo dulu dengan melahirkan Pancasila untuk kesejahteraan dan keadilan, katanya.
Ia mengatakan, ideologi Pancasila sebagai benteng kekuatan untuk melindungi dari ancaman, gangguan, tantangan serta hambatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Musyawarah untuk mencapai mufakat adalah bentuk demokrasi Indonesia yang harus dipertahankan.
"Dengan Pancasila itu, kita membangun bangsa yang besar dengan keanekaragaman suku, budaya, agama dan bahasa," katanya.
Menurut dia, Pancasila juga menjamin setiap warga menjalankan kewajiban beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing, sebab bangsa Indonesia adalah bangsa yang agamais dan bukan negara sekuler.
"Semua pemeluk agama yang ada di masyarakat dilindungi oleh negara," ujarnya.
Dia menyebutkan, pihaknya merasa prihatin saat ini nilai-nilai Pancasila di masyarakat nyaris dilupakan dan diabaikan.
Oleh karena itu, kata dia, pelajaran Pancasila wajib diajarkan kembali di berbagai tingkat pendidikan mulai taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan atas.
Sebab setelah era reformasi pelajaran Pancasila sudah tidak diajarkan di sekolah-sekolah.
Pihaknya memberikan keputusan kepada Dinas Pendidikan setempat agar tahun pelajaran 2011/2012 sudah diajarkan Pancasila di sekolah.
"Kita jangan sampai melupakan Pancasila karena budaya bangsa sendiri sebagai pemersatu bangsa," katanya. (MSR/Z002/K004) Editor: B Kunto Wibisono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar